Senin, 04 Oktober 2010

“Gerakan Mahasiswa : Mau dibawa kemana?” -sebuah refleksi kritis gerakan mahasiswa–


Oeh : F. Fildzah Izzati, Koordinator Komite Mahasiswa Universitas Indonesia (KM UI). Tulisan ini dibuat sebagai bahan pemicu diskusi mingguan KM UI “ Diskusi film gerakan mahasiswa – Prancis 1968”; Senin 4 Oktober 2010.



Prolog : Sejarah di Perancis, 1968
“Sejarah bukanlah sesuatu yang pernah terjadi belaka, akan tetapi sejarah adalah sesuatu yang terjadi dan memiliki arti”
(Immanuel Kant)

          Apa yang kawan-kawan pikirkan dan rasakan setelah menyaksikan film mengenai gerakan mahasiswa yang terjadi di Perancis pada tahun 1968?
---
          Gerakan mahasiswa yang kemudian meluas menjadi gerakan persatuan seluruh rakyat tersebut, dimana buruh, guru, dan rakyat lainnya bersatu dan bergerak bersama mahasiswa hingga kemudian menentang kaum borjuis kapitalis, sebenarnya dipelopori oleh sekelompok kecil mahasiswa yang menggugat pendidikan yang semakin mahal di Universitas Nanterre.  Hal ini tentu menarik untuk kita diskusikan lebih lanjut, tentunya sebagai acuan sejarah yang penting dalam menganalisis kondisi gerakan mahasiswa saat ini. Dimana kondisi gerakan mahasiswa saat ini menunjukkan kecenderungannya yang semakin menjauh dari kesatuannya dengan rakyat serta dari keseimbangan antara teori dan praktek yang revoluisoner.

Kondisi Gerakan Mahasiswa Saat Ini, Posisi, dan Tesisnya
            Apatis, individualis, pragmatis, dan oportunis. Hal-hal tersebutlah yang secara umum paling dapat menggambarkan kondisi mahasiswa saat ini. Kondisi tersebut kemudian mempengaruhi gerakan mahasiswa yang ada dan tentunya kondisi tersebut tidak muncul begitu saja. Mahalnya biaya pendidikan akibat komodifikasi pendidikan, serta ketiadaan tesis yang dibangun dalam gerakan mahasiswa, menurut penulis, menjadi penyebab utamanya. Dalam keseharian kehidupan kita di dalam kampus misalnya, dapat kita jumpai gerakan mahasiswa yang hanya mengedepankan sikap reaksioner dalam menyikapi sesuatu tanpa kemampuan membaca situasi kondisi objektif masyarakat secara ilmiah. Atau pun sebaliknya, kita pun menjumpai gerakan mahasiswa yang hanya menyalurkan kegenitan di ruang-ruang diskusi namun tak pernah mengujikannya di ruang-ruang praktek, seperti aksi, dan lain-lain. Organisasi-organisasi kemahasiswaan yang ada pun semakin menunjukkan kecenderungan fungsinya sebagai EO (Event Organizer) atau ajang karirisme semata. Jauh dari apa yang sering dibayangkan mengenai gerakan mahasiswa, yang bersandingan dengan gerakan perlawanan rakyat, dan lain-lain.
Sejarah panjang gerakan mahasiswa di Indonesia dan dunia, khusunya seperti yang ditunjukkan pada gerakan mahasiswa Perancis 1968, tentu dapat memberikan penjelasan mengenai kondisi gerakan mahasiswa tersebut. Di dalam masyarakat kapitalis seperti saat ini, pendidikan telah menjadi komodifikasi. Universitas-universitas pun berfungsi pada posisi yang subordinat terhadap kebutuhan langsung dari ekonomi kapitalisme[1]. Sehingga tidak mengherankan jika mahasiswa semakin terlienasi dan seringkali terjebak dalam posisi sosialnya yang hanya bersifat sementara. Selain itu, ketiadaan tesis yang dibangun dalam gerakan mahasiswa pun menjadi penyebab utama “mati kutunya” gerakan mahasiswa saat ini. Gerakan mahasiswa di Perancis tahun 1968 misalnya, menunjukkan pada kita bahwa gerakan mahasiswa harus beranjak dari isu-isu normatif kampus menuju persatuannya dengan gerakan rakyat lainnya. Selain juga menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa juga harus mampu untuk membaca situasi dan kondisi objektif yang berlangsung dalam masyarakat. Sehingga kesatuan antara teori dan praktek sebagai prinsip utama dalam gerakan mahasiswa yang revolusioner dapat terwujud. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer[2] :
“ Peran kaum intelektual Indonesia sudah jelas.  Gagasan perjuangan untuk melahirkan bangsa Indonesia diawali oleh mereka dengan kesadaran akan komitmennya dengan bangsanya, dengan kejelian dan kopiawaiannya tentang perang bangsanya. Gagasan dan praktik terus-menerus melahirkan Indonesia merdeka. Dengan praktik intelektual keintelektualan menjadi kuat, dengan praktik otot (tenaga), otot menjadi kuat. Seindah-indah gagasan yang tidak dicuba-wujudkan oleh otot dan dengan otot akan berubah menjadi roh-roh yang gentayangan (berkeliaran) - roh jahat yang menjadikan orang jadi munafik.”

Gerakan mahasiswa di Perancis pada tahun 1968 juga menunjukkan hal penting lain yang dapat kita jadikan pelajaran. Bahwa gerakan mahasiswa harus bersatu dengan gerakan perlawanan rakyat lainnya dan hal tersebut tentu lahir dari kemampuan membaca situasi dan kondisi objektif yang berlangsung dalam masyarakat. Kemampuan tersebut tentu tidak mungkin terwujud bila mahasiswa tidak menyadari asal-usulnya, sejarahnya, serta posisi dan hubungannya dengan rakyat. Mahasiswa sebagai anak kandung dari rakyat itu sendiri, seringkali menempatkan dirinya sebagai “dewa penolong” bagi rakyat. “Menyadarkan rakyat” seolah telah menjadi cita-cita mulia mahasiswa, yang selalu dilihat sebagai misi mulia seolah rakyat yang (memang) terhegemoni tidak pernah memiliki “kesadaran yang baik” menurut mahasiswa. Sehingga “mental menggurui” rakyat sangat umum dimiliki mahasiswa padahal rakyat yang memiliki kondisi material yang lebih nyata tentu bukanlah “sesuatu” yang tidak memiliki apa-apa.
Sejauh pengalaman penulis sebagai mahasiswa dan selama penulis terlibat dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan, belajar bersama-sama rakyat, apalagi berjuang bersama-sama rakyat, sangat jarang ditempatkan sebagai hal yang lumrah. Penempatan posisi mahasiswa dalam mitosnya sebagai “agent of change” nyatanya memang telah membuat mahasiswa terilusi. Bahwa dirinya adalah “superhero” yang posisinya adalah “agen” yang “menyalurkan perubahan”. Mitos tersebut tentu perlu dihilangkan dan dijawab dengan analisis mengenai posisi mahasiswa dalam fase masyarakat dengan sistem kapitalisme yang sedang berlangsung saat ini. Asal-usul keberadaan mahasiswa di negeri ini yang tidak terlepas dari awal mula keberadaannya pada masa kolonial sebagai tenaga kerja murah yang terdidik, memperlihatkan bahwa mahasiswa dalam sejarahnya memang ada untuk mendukung reproduksi kapitalisme.
Sebagai bagian dari reproduksi kapitalisme, mahasiswa tentu tak akan selamanya berada dalam posisi sebagai mahasiswa. Posisi mahasiswa hanya sementara, sehingga kemudian penting bagi mahasiswa untuk menata ulang perspektif umum yang telah ada mengenai peran mahasiswa. Keberadaan mahasiswa di dalam universitas (yang memproduksi ilmu pengetahuan untuk menunjang kapitalisme), juga tentu menjadi kunci bagi mahasiswa dalam menjalankan perannya. Dimana mahasiswa menjadi kunci utama bagi terciptanya ilmu-ilmu pengetahuan, apakah yang akan menguntungkan rakyat, atau sebaliknya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka perlu kita tempatkan ulang kembali posisi sosial mahasiswa sehingga dapat berguna bagi rakyat dan tentu bagi nasibnya sendiri dikemudian hari.

Epilog : Mau Dibawa Kemana Gerakan Mahasiswa?
Dari penjelasan pada bagian-bagian sebelumnya, cukup tergambar dengan jelas bahwa arah gerakan mahasiswa harus selalu dikaitkan dengan fungsi mahasiswa sebagai pendukung reproduksi kapitalisme, dimana posisinya hanya sementara. Pada posisinya yang sementara, mahasiswa tentu harus mampu memikirkan masa depannya. Masa depan mengenai gerakan mahasiswa serta ketika sudah tidak menjadi mahasiswa lagi. Pembangunan gerakan mahasiswa revolusioner, yang menjadikan teori dan praktek sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan serta mampu bersatu dengan rakyat melalui analisa yang radikal atas situasi kondisi objektif masyarakat, tentu dapat diwujudkan melalui organisasi mahasiswa yang revolusioner. Organisasi mahasiswa tersebut tentu merupakan organisasi  yang dapat menyatukan kerja-kerja mahasiswa dan yang bukan mahasiswa (elemen rakyat lainnya). Organisasi yang dapat bersatu dengan rakyat untuk menggulingkan kapitalisme. Komite Mahasiswa Universitas Indonesia bercita-cita untuk menjelmakan hal tersebut. Tak ada yang perlu diragukan mengenai hal tesebut, meski dalam usaha pembangunannya, penuh kesulitan dan diawali dari sedikit orang saja. Karena gerakan mahasiswa Perancis pada tahun 1968 pun telah menunjukkan pada kita bahwa perubahan tidaklah instan dan butuh pengorbanan. Selain juga menunjukkan bahwa perubahan sangat mungkin terjadi meskipun dimulai dari sedikit orang.
--Mari Berdiskusi! J --


[1] Ernest Mandel.“Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek”. Artikel didapat dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/mandel/001.htm; internet; diakses pada tahun 2010.

[2] Pramoedya Ananta Toer. “ Sikap dan Peran Kaum Intelektual di Dunia Ketiga”.; petikan dari teks ceramah Pram di Universitas Indonesia.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar