Selasa, 09 November 2010

Ketika Kampus Kami Menyambut Sang Imperialis…

Pagi ini, 10 November 2010, kampus kami, Universitas Indonesia, bersiap-siap meyambut kedatangan Presiden Negara Imperialis, Barrack Obama. Seluruh jalanan diblokir sejak pukul 6.30 pagi. Bahkan, kami sebagai mahasiswa yang membayar kuliah dengan sangat mahal pun, tak dapat memasuki kampus kami. Penjagaan begitu ketat, ribuan aparat memenuhi jalanan dan tiap sudut sepanjang Margonda-Tanjung Barat. Di kampus kami sendiri, penjagaan lebih ketat lagi. Dengan popor senjata, suasana kampus menjadi begitu lengang. SEperti ada operasi militer. Kawan-kawan kami bahkan banyak yang rela menggadaikan harga dirinya, dengan menyerahkan tasnya, bukunya, dompetnya, dan semua benda-benda yang bersifat privat, demi memasuki kampus sendiri kepada para pemegang popor senjata. Begitu tak punya harga diri.
Keadaan kampus yang sedemikian tersebut tidak terlepas dari kebijakan kampus yang rela me;liburkan mahasiswanya demi menyambut sang tamu yang mereka anggap begitu agung. Kampus kami telah menjadi kampus Orde Modal. Kebijakan peliburan kampus, bukan saja merugikan mahasiswa, namun juga tukang ojek, pedagang-pedagang kantin, tukang fotokopi stasiun, dan warga masyarakat lain di sekitar kampus. Sungguh menyedihkan. Kampus yang dibangun di atas tanah rakyat kini malah menjadi menara gading yang semakin angkuh. Ketika mahasiswa yang telah membayar setiap semester dengan mahal saja tak dapat memasuki kampus, apalagi warga masyarakat, yang mungkin dianggap tak punya hak apapun atas kampus. Padahal, kampus adalah ladang mencari nafkah bagi banyak warga sekitar.
Kedatangan Presiden negeri imperialis ini sendiri pun tak ada kaitannya sama sekali dengan kemajuan kampus, apalagi kesejahteraan rakyat Indonesia, seperti yang digembar-gemborkan media selama ini. Kedatangannya tak lain merupakan usaha untuk memperkuat cengkraman kebijakan pro-modal dan pro-perang yang selama ini mereka lancarkan di banyak Negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Kedatangannya akan semakin memperkuat kedudukan Freepot, Exxon Mobil, Cevron, dll, yang selama ini menjarah dan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Kedatangannya pun semakin mengukuhkan posisi Indonesia sebagai bagian dari neoliberalisme yang selama ini telah berlangsung.
Menyikapi semua keadaan tersebut, kami, Komite Mahasiswa Universitas Indonesia (KM UI), menolak kedatangan Presiden Negara Imperialis tersebut. Karena tidak saja merugikan rakyat Indonesia , negara, tapi juga mahasiswa, pedagang-pedagang kecil sekitar kampus, tukang ojek, dan seluruh warga masyarakat yang dirugikan akibat ditutupnya akses jalan, dll. Penolakan ini kami suarakan melalui aksi pembentangan spanduk bertuliskan “ STOP IMPERIALISM & WAR!!!” di atas jembatan penyebrangan, wilayah ring I penjagaan yang super ketat tersebut pada pukul 08.00. Tulisan dalam spanduk tersebut memiliki arti bahwa kami bukan hanya menolak kedatangan Presiden yang citranya sangat populis tersebut, tapi jauh dari itu, kami menolak kehadiran imperialisme modal di Indonesia. Selain juga kebijakan pro-perang yang kini masih dirasakan rakyat di Irak, Afghanistan, Palestina, dll yang akhirnya memaksa Indonesia yang dipimpin oleh antek-antek imperlialis untuk juga mendukung kebijakan-kebijakan yang pro-perang tersebut. Inilah yang Dapat Kami Lakukan Ketika Kampus Kami Menyambut Sang Imperialis…


Rabu, 10 November 2010
09.00

Minggu, 07 November 2010

Obama Ke UI : MARI BERSIKAP!

Selebaran KM UI; November 2010

“PEMIMPIN IMPERIALIS DUNIA DATANG, KAMPUS DILIBURKAN”

Suatu siang di awal November 2010,
terjadi sebuah obrolan ringan di sebuah rumah makan Padang :

“Obama akan datang ke UI” kata si Uda, sang penjual makanan.
“Serius Uda..!!?” tanya temannya terkejut dan bertanya-tanya.
Kemudian, Uda menyahut dan berkata “Iya, bahkan mahasiswa UI akan di liburkan juga.”
“Kalau mahasiswa saja diliburkan, bagaimana dengan nasib para pekerja proyek bangunan perpustakaan ya?”,
”Iya” sahut si Uda, ”Mahasiswa yang bayar kuliah aja di liburkan, apalagi mereka, wah mau di ungsikan kemana tuh” lanjutnya.
“He he.. Iya ya, apalagi mereka kan orang daerah, sudah tentu banyak yang gak punya saudara disini” sahut temannya,
“Bukan itu saja, para tukang ojek juga bisa kehilangan pekerjaan selama tiga hari, karena keamananya pasti sangat luar biasa.”
“Hmm.. jangan-jangan, kereta api juga ga bisa lewat stasiun UI” sahut temannya,
“Iya, dengar-dengar juga begitu” jawab si Uda.

Dari penggalan obrolan ringan di atas tergambar bahwa kedatangan pemimpin negara imperialis itu sangat merepotkan dan menyengsarakan.

MARI KITA BUKA MATA, KAWAN…

Kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS), Barrack Obama ke Indonesia pada tanggal 10 November 2011 dalam rangkaiannya setelah pertemuan G20 di Torronto, Kanada, Juni lalu, tentu perlu disikapi. Terlebih, ia akan menyampaikan kuliah umum di kampus Universitas Indonesia. Sebagai kaum terpelajar, tentu kita harus melihat dan menyikapi kedatangannya secara kritis. Seperti diketahui, AS adalah negara imperialis yang kebijakan-kebijakannya banyak menyengsarakan negara-negara dunia ketiga, seperti Indonesia. Kunjungan Obama ke Indonesia terutama ditujukan dalam rangka memperkuat kebijakan pro-modal dan pro-perang AS.

Dibawah kepemimpinan Obama, tekanan neoliberalisme terhadap negara dunia ketiga terjadi semakin kuat. Melalui G20, $1,1 miliar dikucurkan dalam stimulus ekonomi yang akan diberikan melalui IMF. Namun, pinjaman IMF ke dunia ketiga tersebut datang dengan syarat neoliberal yang kejam yang tentu saja akan berimplikasi pada penghancuran keberlangsungan kehidupan ratusan juta orang. Syarat-syarat neoliberal tersebut, adalah penjualan aset-aset rakyat (privatisasi), pembuatan area perdagangan bebas, labor market flexibility yang mengakibatkan maraknya sistem kerja kontrak dan outsourching, serta perampasan Sumber Daya Alam. Sementara para pemilik modal justru dilindungi dengan subsidi dan kucuran dana bail-out. Bailout Century yang dilakukan oleh SBY adalah sama dengan kebijakan Obama yang mengucurkan ratusan juta dollar untuk perbankan di AS. Yang ternyata uang tersebut digunakan oleh para pemilik bank untuk menaikan gajinya sendiri.

Perusahaan multi nasional Amerika Serikat seperti Exxon Mobil, Freeport, Newmont, Chevron, dll yang telah mengeruk kekayaan, menindas, dan menyengsarakan rakyat Indonesia akan semakin terbuka jalannya dengan kunjungan Obama ke Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut bergelimangan keuntungan dengan minyak, gas alam, dan emas yang dijarah dari bumi Indonesia. Sementara rakyat Indonesia semakin miskin karena harga BBM dan listrik yang terus menerus naik, Belum lagi, kerusakan lingkungan yang diakibatkan penjarahan perusahaan-perusahaan tersebut pun tidak pernah dipertanggungjawabkan. Agenda Imperialisme dan Neoliberal telah memaksa terjadinya penjarahan terhadap rakyat dan bumi kita dalam skala yang tidak terperikan, sementara elit pemilik modal semakin bergelimangan dalam keuntungan, subsidi yang masif, serta dana-dana bailout. Ketika rakyat memberontak akibat kebijakan tersebut maka politik represi dengan perang dan politik menakut-nakuti dengan isu terorisme pun dilakukan.

Afghanistan dan Irak misalnya, masa depan mereka masih kelabu sekarang. Meski AS telah menarik sebagian pasukanya dari Irak, tidak ada jaminan bahwa tahun 2011 penarikan semua pasukan akan dilakukan secara konsekuen. Yang jelas, pada secara politik dan ekonomi (meski dalam hal ekonomi tidak sepenuhnya), AS telah menancapkan kukunya di Iraq. Hal ini terbukti dari begitu bergantungnya pemerintahan Irak atas AS untuk bertahan. Bahkan mungkin bisa saja nanti mereka akan mendirikan pangkalan sebagaimana yang terjadi di Korea Selatan. Sedangkan kondisi di Afganistan pun setali tiga uang. Penambahan pasukan disana tidak menjamin keadaan akan semakin lebih baik. Pun tidak bisa dipercayai bahwa AS benar-benar bebas nilai, yang hanya mencoba menegakkan demokrasi dan keamanan dalam negeri mereka.

MARI BERSIKAP!

Dari pemaparan fakta-fakta di atas, dapat kita lihat bahwa kedatangan pemimpin imperialis dunia tersebut tidak memberi arti apa-apa selain untuk memperluas imperialisme, yang semakin rakus dan bersifat menghancurkan. Tidak ada kesejahteraan dan kedamaian yang datang dari sistem imperialis. Sebagai kaum terpelajar, adalah tugas kita untuk bersama dengan rakyat melawan imperialisme dengan mewujudkan sebuah tatanan dunia baru yang dijalankan dan dimiliki oleh rakyat mayoritas : yang tertindas dan tereksploitasi, dengan berdasar pada solidaritas, kerja sama dan penghormatan atas lingkungan.
So, what’s on your mind? 

Senin, 04 Oktober 2010

“Gerakan Mahasiswa : Mau dibawa kemana?” -sebuah refleksi kritis gerakan mahasiswa–


Oeh : F. Fildzah Izzati, Koordinator Komite Mahasiswa Universitas Indonesia (KM UI). Tulisan ini dibuat sebagai bahan pemicu diskusi mingguan KM UI “ Diskusi film gerakan mahasiswa – Prancis 1968”; Senin 4 Oktober 2010.



Prolog : Sejarah di Perancis, 1968
“Sejarah bukanlah sesuatu yang pernah terjadi belaka, akan tetapi sejarah adalah sesuatu yang terjadi dan memiliki arti”
(Immanuel Kant)

          Apa yang kawan-kawan pikirkan dan rasakan setelah menyaksikan film mengenai gerakan mahasiswa yang terjadi di Perancis pada tahun 1968?
---
          Gerakan mahasiswa yang kemudian meluas menjadi gerakan persatuan seluruh rakyat tersebut, dimana buruh, guru, dan rakyat lainnya bersatu dan bergerak bersama mahasiswa hingga kemudian menentang kaum borjuis kapitalis, sebenarnya dipelopori oleh sekelompok kecil mahasiswa yang menggugat pendidikan yang semakin mahal di Universitas Nanterre.  Hal ini tentu menarik untuk kita diskusikan lebih lanjut, tentunya sebagai acuan sejarah yang penting dalam menganalisis kondisi gerakan mahasiswa saat ini. Dimana kondisi gerakan mahasiswa saat ini menunjukkan kecenderungannya yang semakin menjauh dari kesatuannya dengan rakyat serta dari keseimbangan antara teori dan praktek yang revoluisoner.

Kondisi Gerakan Mahasiswa Saat Ini, Posisi, dan Tesisnya
            Apatis, individualis, pragmatis, dan oportunis. Hal-hal tersebutlah yang secara umum paling dapat menggambarkan kondisi mahasiswa saat ini. Kondisi tersebut kemudian mempengaruhi gerakan mahasiswa yang ada dan tentunya kondisi tersebut tidak muncul begitu saja. Mahalnya biaya pendidikan akibat komodifikasi pendidikan, serta ketiadaan tesis yang dibangun dalam gerakan mahasiswa, menurut penulis, menjadi penyebab utamanya. Dalam keseharian kehidupan kita di dalam kampus misalnya, dapat kita jumpai gerakan mahasiswa yang hanya mengedepankan sikap reaksioner dalam menyikapi sesuatu tanpa kemampuan membaca situasi kondisi objektif masyarakat secara ilmiah. Atau pun sebaliknya, kita pun menjumpai gerakan mahasiswa yang hanya menyalurkan kegenitan di ruang-ruang diskusi namun tak pernah mengujikannya di ruang-ruang praktek, seperti aksi, dan lain-lain. Organisasi-organisasi kemahasiswaan yang ada pun semakin menunjukkan kecenderungan fungsinya sebagai EO (Event Organizer) atau ajang karirisme semata. Jauh dari apa yang sering dibayangkan mengenai gerakan mahasiswa, yang bersandingan dengan gerakan perlawanan rakyat, dan lain-lain.
Sejarah panjang gerakan mahasiswa di Indonesia dan dunia, khusunya seperti yang ditunjukkan pada gerakan mahasiswa Perancis 1968, tentu dapat memberikan penjelasan mengenai kondisi gerakan mahasiswa tersebut. Di dalam masyarakat kapitalis seperti saat ini, pendidikan telah menjadi komodifikasi. Universitas-universitas pun berfungsi pada posisi yang subordinat terhadap kebutuhan langsung dari ekonomi kapitalisme[1]. Sehingga tidak mengherankan jika mahasiswa semakin terlienasi dan seringkali terjebak dalam posisi sosialnya yang hanya bersifat sementara. Selain itu, ketiadaan tesis yang dibangun dalam gerakan mahasiswa pun menjadi penyebab utama “mati kutunya” gerakan mahasiswa saat ini. Gerakan mahasiswa di Perancis tahun 1968 misalnya, menunjukkan pada kita bahwa gerakan mahasiswa harus beranjak dari isu-isu normatif kampus menuju persatuannya dengan gerakan rakyat lainnya. Selain juga menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa juga harus mampu untuk membaca situasi dan kondisi objektif yang berlangsung dalam masyarakat. Sehingga kesatuan antara teori dan praktek sebagai prinsip utama dalam gerakan mahasiswa yang revolusioner dapat terwujud. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer[2] :
“ Peran kaum intelektual Indonesia sudah jelas.  Gagasan perjuangan untuk melahirkan bangsa Indonesia diawali oleh mereka dengan kesadaran akan komitmennya dengan bangsanya, dengan kejelian dan kopiawaiannya tentang perang bangsanya. Gagasan dan praktik terus-menerus melahirkan Indonesia merdeka. Dengan praktik intelektual keintelektualan menjadi kuat, dengan praktik otot (tenaga), otot menjadi kuat. Seindah-indah gagasan yang tidak dicuba-wujudkan oleh otot dan dengan otot akan berubah menjadi roh-roh yang gentayangan (berkeliaran) - roh jahat yang menjadikan orang jadi munafik.”

Gerakan mahasiswa di Perancis pada tahun 1968 juga menunjukkan hal penting lain yang dapat kita jadikan pelajaran. Bahwa gerakan mahasiswa harus bersatu dengan gerakan perlawanan rakyat lainnya dan hal tersebut tentu lahir dari kemampuan membaca situasi dan kondisi objektif yang berlangsung dalam masyarakat. Kemampuan tersebut tentu tidak mungkin terwujud bila mahasiswa tidak menyadari asal-usulnya, sejarahnya, serta posisi dan hubungannya dengan rakyat. Mahasiswa sebagai anak kandung dari rakyat itu sendiri, seringkali menempatkan dirinya sebagai “dewa penolong” bagi rakyat. “Menyadarkan rakyat” seolah telah menjadi cita-cita mulia mahasiswa, yang selalu dilihat sebagai misi mulia seolah rakyat yang (memang) terhegemoni tidak pernah memiliki “kesadaran yang baik” menurut mahasiswa. Sehingga “mental menggurui” rakyat sangat umum dimiliki mahasiswa padahal rakyat yang memiliki kondisi material yang lebih nyata tentu bukanlah “sesuatu” yang tidak memiliki apa-apa.
Sejauh pengalaman penulis sebagai mahasiswa dan selama penulis terlibat dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan, belajar bersama-sama rakyat, apalagi berjuang bersama-sama rakyat, sangat jarang ditempatkan sebagai hal yang lumrah. Penempatan posisi mahasiswa dalam mitosnya sebagai “agent of change” nyatanya memang telah membuat mahasiswa terilusi. Bahwa dirinya adalah “superhero” yang posisinya adalah “agen” yang “menyalurkan perubahan”. Mitos tersebut tentu perlu dihilangkan dan dijawab dengan analisis mengenai posisi mahasiswa dalam fase masyarakat dengan sistem kapitalisme yang sedang berlangsung saat ini. Asal-usul keberadaan mahasiswa di negeri ini yang tidak terlepas dari awal mula keberadaannya pada masa kolonial sebagai tenaga kerja murah yang terdidik, memperlihatkan bahwa mahasiswa dalam sejarahnya memang ada untuk mendukung reproduksi kapitalisme.
Sebagai bagian dari reproduksi kapitalisme, mahasiswa tentu tak akan selamanya berada dalam posisi sebagai mahasiswa. Posisi mahasiswa hanya sementara, sehingga kemudian penting bagi mahasiswa untuk menata ulang perspektif umum yang telah ada mengenai peran mahasiswa. Keberadaan mahasiswa di dalam universitas (yang memproduksi ilmu pengetahuan untuk menunjang kapitalisme), juga tentu menjadi kunci bagi mahasiswa dalam menjalankan perannya. Dimana mahasiswa menjadi kunci utama bagi terciptanya ilmu-ilmu pengetahuan, apakah yang akan menguntungkan rakyat, atau sebaliknya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka perlu kita tempatkan ulang kembali posisi sosial mahasiswa sehingga dapat berguna bagi rakyat dan tentu bagi nasibnya sendiri dikemudian hari.

Epilog : Mau Dibawa Kemana Gerakan Mahasiswa?
Dari penjelasan pada bagian-bagian sebelumnya, cukup tergambar dengan jelas bahwa arah gerakan mahasiswa harus selalu dikaitkan dengan fungsi mahasiswa sebagai pendukung reproduksi kapitalisme, dimana posisinya hanya sementara. Pada posisinya yang sementara, mahasiswa tentu harus mampu memikirkan masa depannya. Masa depan mengenai gerakan mahasiswa serta ketika sudah tidak menjadi mahasiswa lagi. Pembangunan gerakan mahasiswa revolusioner, yang menjadikan teori dan praktek sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan serta mampu bersatu dengan rakyat melalui analisa yang radikal atas situasi kondisi objektif masyarakat, tentu dapat diwujudkan melalui organisasi mahasiswa yang revolusioner. Organisasi mahasiswa tersebut tentu merupakan organisasi  yang dapat menyatukan kerja-kerja mahasiswa dan yang bukan mahasiswa (elemen rakyat lainnya). Organisasi yang dapat bersatu dengan rakyat untuk menggulingkan kapitalisme. Komite Mahasiswa Universitas Indonesia bercita-cita untuk menjelmakan hal tersebut. Tak ada yang perlu diragukan mengenai hal tesebut, meski dalam usaha pembangunannya, penuh kesulitan dan diawali dari sedikit orang saja. Karena gerakan mahasiswa Perancis pada tahun 1968 pun telah menunjukkan pada kita bahwa perubahan tidaklah instan dan butuh pengorbanan. Selain juga menunjukkan bahwa perubahan sangat mungkin terjadi meskipun dimulai dari sedikit orang.
--Mari Berdiskusi! J --


[1] Ernest Mandel.“Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek”. Artikel didapat dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/mandel/001.htm; internet; diakses pada tahun 2010.

[2] Pramoedya Ananta Toer. “ Sikap dan Peran Kaum Intelektual di Dunia Ketiga”.; petikan dari teks ceramah Pram di Universitas Indonesia.

 

Senin, 27 September 2010

Sejarah Lahirnya Kaum Terpelajar (Mahasiswa) dan Posisi Sosialnya (Selebaran KM UI no.2 : 31 Agustus 2010)


Tahukah Kamu?

Lahirnya kaum terpelajar (mahasiswa) di Indonesia :

Faktor utama yang membidani lahirnya kaum terpelajar atau yang kemudian disebut sebagai mahasiswa di Indonesia adalah dibutuhkannya tenaga-tenaga ahli pada sektor-sektor industri serta jasa pelayanan masyarakat pada masa pemerintahan kolonial belanda di Indonesia (baca : Hindia Belanda). Di masa-masa awal, pemerintah kolonial selalu mendatangkan tenaga-tenaga ahli dari Eropa untuk mengisi pos-pos kerja yang mengharuskan tenaga kerjanya memiliki keahlian atau spesifikasi khusus. Mereka dipekerjakan pada pabrik-pabrik milik kerajaan Belanda atau milik pemodal asing yang ada di Hindia Belanda, seperti di bidang manajemen atau teknisi. Begitupun pada sektor pelayanan jasa, dokter-dokter, birokrat dan masisnis kereta misalnya, selalu didatangkan dari Eropa. Hal tersebut karena memang hampir tidak ada sumber daya manusia (SDM) lokal (Hindia Belanda) yang memiliki kemampuan – kemampuan tersebut.

Namun, lama kelamaan, tepatnya di akhir-akhir tahun 1800-an menjelang 1900, pemerintah kolonial sadar akan terlalu besarnya biaya yang harus dikeluarkan, bila terus mendatangkan tenaga ahli dari Eropa. Maka kemudian dibuatlah sekolah-sekolah tinggi dengan spesifikasi keahlian khusus. STOVIA (sekarang Fakultas Kedokteran UI Salemba) misalnya dibuat untuk memproduksi dokter-dokter, dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung (Sekarang ITB) menyiapkan pekerja pada bidang teknik di pabrik-pabrik. Juga OSVIA, sekolah bagi para calon ambtenar atau birokrat. Secara keseluruhan, hanya puteri-putera dari para bangsawan yang mampu mendapatkan pendidikan tersebut, atau minimal memiliki akses terhadap pemerintah kolonial.

Seperti yang pernah diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer , “Jangan agungkan Eropa secara keseluruhan. Dimanapun ada yang mulia dan jahat… Kau sudah lupa kiranya Nak, yang kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu.” Begitu kiranya pandangan yang paling tepat atas apa yang telah dilakukan pemerintahan kolonial terhadap masyarakat dan Indonesia. Sekolah-sekolah tinggi yang disediakan, merupakan sarana reproduksi untuk mendukung sepenuhnya kegiatan  produksi. Tenaga-tenaga ahli pribumi disiapkan hanya sebagai tenaga kerja murah, pelayan pemerintah kolonial, untuk tetap menjamin kepentingan modal kapitalis-imprealis di Hindia, yakni mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan menghisap kekayaan alam dan menghisap tenaga sumber daya manusianya.

Dokter-dokter pribumi disediakan untuk memberi pengobatan pada masyarakat pekerja yang sakit, sebab bila hal tersebut tidak ditangani maka tingkat produksi akan menurun dan pemerintah kolonial sendiri akan menanggung akibat dan kerugiannya. Begitupun teknisi dan masisnis-masinis kereta, keberadaannya hanya sekedar mendukung produktivitas kerja. Sementara para puteri-putera bangsawan atau priyai lulusan OSVIA yang duduk dikursi-kursi birokrasi, tidak berdaya dalam menghadapi pembedaan status sosial yang diberlakukan pemerintah kolonial, yang membuat masyarakat pribumi dari golongan rakyat jelata (bukan bangsawan dan priyai) seolah-olah menanggung dosa yang tiada mampu diampuni bahkan oleh Tuhan-nya sendiri, dimana hak-hak hidup serta hartanya dirampas, kemudian tidak diakui sama sekali dimata hukum.

Tujuan dilahirkannya kaum pelajar (mahasiswa) di Indonesia :

Adanya kaum pelajar (waktu itu belum dikenal dengan istilah mahasiswa) di Indonesia yang ternyata hanya di-siapkan sebagai tenaga ahli dengan upah rendah, merupakan salah satu dari tiga rencana perbaikan yang sepertinya sengaja dirancang untuk gagal memperbaiki  keadaan masyarakat Indonesia. Hal tersebut tidak lain sebagai bagian dari politik etis yang waktu itu dilancarkan pemerintah kolonial Belanda. Dimana dua hal lainnya, pembangunan irigasi (bendungan serta sistem pengairan) dan Emigrasi (perpindahan penduduk), ternyata hanya menjadi alasan untuk mempekerjakan masyarakat secara paksa. Untuk membangun sarana dan infrastruktur pendukung seperti jalan dan saluran pengairan, untuk pabrik-pabrik dan perkebunan milik kaum kapitalis-imprealis.

Jelaslah sudah, bahwa memang tidak ada satupun hal yang benar di dalam sebuah sistem yang salah. Jika pun ada, hal itu hanya untuk membenarkan hal-hal yang salah. Sehingga kemudian, mahasiswa yang merupakan kaum terdidik, yang seharusnya memiliki tingkat kesadaran dan kepekaan masalah sosial lebih tinggi karena didukung kemudahan akses informasi, berhasil dibuat berada dalam posisi sosial yang salah.

Posisi sosial pelajar (mahasiswa) :

Melihat penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa posisi sosial mahasiswa berada pada perannya sebagai pendukung reproduksi kapitalisme. Mahasiswa hanya di-didik dan dibentuk menjadi seorang teknokrat, dimana setelah lulus dan menjadi sarjana hanya akan tua; dan hanya akan membusuk di meja-meja kerja. Sementara orang-orang desa, buruh-buruh pabrik; dan rakyat miskin umumnya yang seharusnya menikmati perbaikan kualitas kehidupannya berkat adanya kaum terpelajar (mahasiswa) tetap dicumbui resah. Sehingga kemudian penting bagi kita yang merupakan bagian dari kaum yang disebut terpelajar tersebut untuk menata ulang perspektif umum yang telah ada (yang dibentuk untuk melanggengkan sistem yang berkuasa) tentang peran dari kita. Keberadaan mahasiswa di dalam universitas (yang memproduksi ilmu pengetahuan untuk menunjang kapitalisme), juga tentu menjadi kunci bagi mahasiswa dalam menjalankan perannya. Dimana mahasiswa menjadi kunci utama bagi terciptanya ilmu-ilmu pengetahuan, apakah yang akan menguntungkan rakyat, atau sebaliknya.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, maka perlu kita tempatkan ulang kembali posisi sosial mahasiswa sehingga dapat berguna bagi masyarakat umum dan tentu bagi nasibnya sendiri dikemudian hari. Mahasiswa harus mau mempelajari ilmu-ilmu atau teori bagi masyarakat, juga memproduksi ilmu serta teori yang ilmiah yang tentunya berguna bagi perbaikan keadaan masyarakat, karena ilmu dan teori yang didapat dari bangku kuliah rata-rata hanya bermanfaat bagi sistem dan orang-orang yang berkuasa. Selain itu, sebagai proses kelanjutan dari teori-teori yang telah dipelajari mahasiswa harus mau bergabung ke tengah-tengah masyarakat, untuk membangun kesadaran ilmiah dari keadaan di masyarakat itu sendiri. Untuk kemudian bersama-sama masyarakat melakukan tindakan-tindakan apapun yang diperlukan dalam upaya memperbaiki keadaan yang ada. Berangkat dari kesadaran akan keadaan masyarakat yang selalu dirugikan oleh bangunan struktur sistem yang ada dan berkuasa sekarangKomite Mahasiswa Universitas Indonesia (KM UI) terus berupaya untuk melakukan hal-hal tersebut.

Melalui diskusi-diskusi di KM UI, kita dapat mempelajari teori-teori ilmiah yang tidak hanya bersumber dari buku-buku saja melainkan juga langsung dari subjek-nya sendiri, masyarakat. Terbitan yang dikeluarkan KM UI, menjadi corong keluar bagi pengetahuan serta teori ilmiah yang sebelumnya telah dipelajari melalui diskusi dengan sasaran membangun kesadaran ilmiah tentang keadaan yang sebenarnya (ketidakadilan, kemiskinan, penindasaan, dll) di-kalangan mahasiswa serta masyarakat umumnya. Lalu, sebagai tanggung jawab langsung atas peran yang dijalankan sebagai kaum terpelajar, kita seluruh anggota KM UI harus siap terjun langsung ke masyarakat, dalam upaya membangun kesadaran masyarakat ataupun ketika kesadaran yang terbentuk sudah semakin kuat, sudah siap secara bersama-sama untuk melakukan perjuangan bersama masyarakat. Kawan-kawan yang bergabung dengan KM UI tentunya bisa bergabung ke dalam proses-proses tersebut sehingga perubahan yang telah lama dinanti-nantikan oleh masyarakat atas kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, yang lebih membebaskan masyarakat dari ketidak adilan, kemiskinan, penindasan, dapat datang lebih cepat. Selamat bergabung! Ayo berkawan dan melawan!.


Pendaftaran dan informasi : komitemahasiswa.ui@gmail.com ; contact : 08979444783